Rabu, 05 Desember 2007

Tri Pilar Pengembangan UMKM

KERJASAMA TRIPILAR DALAM PENGEMBANGAN UMKM
Oleh: Ardito Bhinadi*


Pendahuluan
Peranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai tiang penyangga perekonomian nasional pada saat krisis ekonomi sangat besar. Hal ini didukung oleh hasil riset Bank Indonesia (2001) yang menunjukkan bahwa sepanjang krisis ekonomi ternyata hanya 4 persen UMKM yang mengalami kebangkrutan, 31 persen mengurangi skala usahanya, dan sekitar 65 persen lainnya tidak mengalami perubahan berarti dalam kinerja usahanya. Kenyataan ini berlawanan dengan kondisi usaha besar yang mayoritas mengalami kemunduran usaha.
Namun demikian, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh UMKM yang membutuhkan suatu pendekatan secara integratif dalam pemecahannya. Salah satu kendala usaha yang banyak dikeluhkan pengusaha UMKM adalah tambahan dana untuk kebutuhan modal kerja dan investasi. Beberapa penyebab sulitnya UMKM memperoleh tambahan modal kerja maupun investasi dikarenakan:
1) UMKM masih belum memiliki laporan keuangan yang tersusun baik beserta kelengkapan administrasi pendukungnya (bukti-bukti transaksi keuangan),
2) Kebanyakan di antara UMKM masih belum bisa menyusun business plan yang baik sebagai salah satu syarat ketentuan pengajuan proposal pembiayaan kredit usaha,
3) Beberapa UMKM khususnya pemilik usaha mikro dan kecil, banyak yang tidak memiliki agunan sebagai salah satu syarat jaminan pengucuran kredit oleh lembaga keuangan.
Di sisi lain, lembaga keuangan mempunyai kendala juga di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Kendala penyaluran kredit lembaga keuangan terhadap UMKM terlihat dari nilai Loan Deposit Ratio (LDR). Data statistik ekonomi keuangan daerah yang diterbitkan Bank Indonesia pada bulan Desember 2003 memperlihatkan bahwa rerata LDR untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) pada bulan September sampai dengan Oktober adalah 27,5%. Sumbangan setiap kabupaten/kota terhadap LDR Propinsi DIY berurutan dari nilai yang tertinggi adalah Kabupaten Gunungkidul (42,4%), Kabupaten Bantul (40,2%), Kabupaten Kulonprogo (35,4%), Kabupaten Sleman ( 13%) dan Kota Yogyakarta (6,5%).
Ada banyak perdebatan mengenai penyebab rendahnya LDR baik secara nasional maupun di DIY. Perdebatan yang mengemuka di antaranya saling menimpakan penyebab tersebut pada pihak lain. Pihak UMKM menyatakan bahwa pihak perbankan memberikan persyaratan pengajuan kredit yang terlalu menyulitkan UMKM. Salah satu syarat pengajuan kredit yang paling dirasakan sulit dipenuhi oleh UMKM khususnya mikro dan kecil adalah agunan. Sementara di sisi lain, pihak perbankan menyatakan bahwa mereka telah membuka peluang seluas-luasnya bagi UMKM untuk mengajukan penambahan modal usaha. Pihak perbankan menyatakan juga bahwa rendahnya LDR disebabkan oleh rendahnya permintaan kredit dari pengusaha itu sendiri.
Perdebatan mengenai pihak mana yang sebenarnya mengakibatkan rendahnya realisasi penyaluran dana UMKM tidak terlalu penting untuk dikemukakan. Alangkah baiknya apabila masing-masing pihak justru saling bekerjasama. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan dalam mengoptimalkan penyaluran dana UMKM. Pihak UMKM berkepentingan untuk meningkatkan modal usahanya. Pihak perbankan berkepentingan untuk menyalurkan dana tersebut. Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya kerjasama antara berbagai pihak untuk berkomitmen mengembangkan UMKM melalui kompetensi yang dimilikinya amsing-masing.

Kerjasama Tripilar dalam Pengembangan UMKM
Diperlukan kerjasama beberapa pihak untuk mengembangkan UMKM di Indonesia. Sedikitnya ada tiga pihak (tiga pilar) yang diharapkan dapat bekerjasama dengan baik untuk bersama-sama mengembangan UMKM. Ketiga pilar tersebut adalah lembaga keuangan, lembaga pendamping bisnis dan pemerintah. Masing-masing pihak mempunyai peran utama masing-masing.
Gambar 1 Kerjasama Tripilar dalam Pengembangan UMKM













Lembaga keuangan sebagai salah satu pihak yang sebenarnya juga berkepentingan dalam kegiatan usahanya mempunyai peran membantu UMKM dari sisi penambahan modal usaha, baik modal kerja maupun investasi. Lembaga keuangan yang dimaksud di sini adalah bank dan non bank. Lembaga keuangan dapat memberikan pelatihan bagi UMKM dalam menyusun proposal pengembangan usaha yang feasible. Sosialisasi kepada UMKM harus terus dilakukan oleh lembaga keuangan terkait dengan prosedur pengajuan kredit beserta syarat-syaratnya.
Pilar kedua dalam pengembangan UMKM adalah lembaga pendamping bisnis (Business Development Services Provider). Lembaga pendamping bisnis ini berperan utama dalam membantu UMKM meningkatkan kesehatan dan kinerja usahanya. Peran lain dari lembaga pendamping bisnis adalah:
1) membantu UMKM menyusun administrasi keuangan yang tertata dengan baik,
2) membantu UMKM menyusun business plan,
3) mendampingi UMKM dalam mengajukan proposal pengembangan usaha kepada lembaga keuangan,
4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) UMKM.
Ada banyak pihak yang dapat dimasukkan dalam pilar kedua ini, antara lain: lembaga swadaya masyarakat (LSM), pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi.
Pilar ketiga adalah pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah pusat berperan menciptakan iklim perekonomian yang kondusif bagi perkembangan UMKM. Peran penting lainnya adalah menciptakan berbagai kebijakan melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. Pemerintah daerah dalam era otonomi daerah mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah juga dapat membantu pengembangan UMKM melalui berbagai kebijakan ekonomi yang menunjukkan keberpihakan kepada UMKM di daerahnya. Pemerintah pusat dan daerah dapat membantu UMKM melakukan promosi hasil usahanya dalam lingkup nasional maupun internasional.

Penutup
Melalui kerjasama tripilar di atas, diharapkan UMKM akan semakin meningkat kinerja usahanya. Keberhasilan pengembangan UMKM akan semakin memperkokoh sendi-sendi perekonomian bangsa. UMKM pada akhirnya akan menjadi pilar utama dalam perekonomian nasional dan daerah.

Tidak ada komentar: