Senin, 10 Desember 2007

Pembentukan dan Pengelolaan UMKM Pangan

Pemerintah memiliki progran Desa Mandiri Pangan. Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan mewujudkan ketahanan pangan melalui optimalisasi sumber daya setempat untuk memproduksi bahan pangan dan meningkatkan daya beli. Strategi Desa Mandiri Pangan adalah:
1) Penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat,
2) Penguatan kelembagaan pedesaan,
3) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan dukungan multi sektor dan disiplin, dan
4) Sinergitas antar stakeholder (pemangku kepentingan).
Perwujudan Desa Mandiri Pangan bertumpu pada beberapa hal, yaitu:
1) Tidak hanya mengandalkan pada upaya peningkatan produksi saja.
2) Dikembangkan upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pangan melalui pengembangan berbagai aktivitas usaha ekonomi masyarakat.
3) Pembentukan dan penguatan kelembagaan ekonomi perdesaan.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memiliki peran bagi terwujudnya Desa Mandiri Pangan. Dalam rangka mewujudkan perannya itu, terdapat beberapa permasalahan, diantaranya adalah:
1) Produk pertanian memiliki risiko gagal panen atau jatuhnya harga.
2) Kegiatan agribisnis dan ketahanan pangan masih diwarnai oleh keterbatasan aksesibilitas petani terhadap pasar yang disebabkan kecilnya skala usaha.
3) Belum efisiennya lembaga pemasaran.
4) Iklim investasi dan permodalan dalam rangka pengembangan usaha masih terbatas.
Melihat permasalahan tersebut, UMKM harus diberdayakan. Pemberdayaan UMKM meliputi:
1) memperkuat permodalannya,
2) memperkuat kepengelolaannya,
3) memperkuat daya saingnya, sehingga memiliki keungulan komparatif dan keunggulan kompetitif,
4) kuat daya tembusnya dalam mengakses sumber potensi keuntungan.
UMKM juga perlu didayagunakan karena memiliki multi peran, yaitu:
1) Sebagai produsen
2) Sebagai pemasar
3) Sebagai konsumen
4) Sebagai supplier
5) Sebagai sumber pendanaan
UMKM yang baik berasal dari sebuah proses yang tidak pendek. Sejak dari awal pembentukan, UMKM tersebut harus didesain supaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Terkait dengan pembentukan UMKM ini, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
1)Potensi pasar, meliputi: permintaan pasar dan pesaing usaha.
2) Potensi diri, kenali potensi keunggulan diri: mengoptimalkan keahlian yang dimiliki
3) Potensi lingkungan, kenali potensi lingkungan yang dapat mendukung usaha: sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
4) Aspek Legalitas Usaha, pertimbangkan bentuk usaha yang sesuai dan menguntungkan.
Setelah berhasil mendirikan UMKM, maka langkah selanjutnya adalah melakukan good governance (tata kepengelolaan yang baik). UMKM yang telah didirikan tersebut harus dikelola dengan baik. Beberapa hal yang harus dipahami adalah bahwa UMKM yang baik itu:
1) Bukan besar tapi kokoh/kuat.
2) Bukan omset yang banyak tapi kontinu/berkelanjutan.
3) Bukan segera cari untung sebesar-besarnya tapi pelanggan sebanyak-banyaknya.
Ada beberapa faktor penentu kesuksesan bisnis yang dijalankan UMKM, yaitu:
1) Kuat permodalan
Memiliki sumber permodalan yang kuat, tidak banyak tergantung utang.
2) Kuat SDM
Memiliki tenaga profesional yang jujur, amanah, tekun dan sabar.
3) Kuat pemasaran
Mampu mencari peluang-peluang bisnis yang menguntungkan dan mencari pelanggan.
Kualitas SDM menjadi kunci utama bisnis yang dijalankan UMKM. Supaya memiliki SDM yang berkualitas, maka SDM tersebut harus senantiasa:
1) mengembangkan kualitas diri.
2) inisiatif dan proaktif.
3) gigih dan tekun.
4) yakin dalam bertindak.
5) memiliki karakter yang kuat dan jujur.
6) memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik
7) menguasai aspek pengetahuan produk:
kenali jenis produk/jasa yang dihasilkan berikut karakteristiknya, kenali sifat produk/jasa yang dihasilkan, kenali keunggulan dan kelemahan produk dibandingkan produk pesaing.
8) menguasai aspek hubungan dengan pelanggan: kenali karakter pelanggan dengan baik, layani pelanggan tanpa pilih kasih dan ciptakan hubungan emosional dengan pelanggan.

Rabu, 05 Desember 2007

Iklim Berusaha di DIY

IKLIM BERUSAHA DI PROPINSI DIY:
KONDUSIFKAH BAGI PENGUSAHA UMKMK
Ardito Bhinadi


PENDAHULUAN
Iklim usaha yang baik dipandang sebagai syarat yang diperlukan bagi tumbuh kembangnya kegiatan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) di suatu negara maupun daerah. Apa indikator iklim usaha yang baik? Baik atau tidaknya iklim usaha diukur melalui beberapa indikator. Salah satu indikator yang sering dijadikan acuan bagi pemerintah dan dunia usaha adalah kondisi ekonomi makro.
Indikator ekonomi makro bisa dilihat dari stabilitas harga, stabilitas nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan neraca pembayaran, dan kesempatan kerja. Saat ini indikator makroekonomi negara kita sangat baik. Inflasi per bulan Mei 2007 sebesar 6,01 persen relatif moderat. Kurs tengah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS per 20 Juni 2007 adalah Rp 8.902. Cadangan devisa yang dimiliki juga cukup aman, yaitu sebesar USD 50.211,80. Lantas dengan kondisi makroekonomi yang dianggap baik dan stabil tersebut apakah kemudian UMKMK dapat berkembang dengan baik?
Dari sisi makroekonomi kondisi perekonomian cukup baik, namun dari sisi mikroekonomi perkembangan sektor riil masih relatif lambat. Jika diperhatikan, ada sebuah ketidaksinambungan antara kondisi makroekonomi dengan mikroekonomi. Penyebab ketidaksinambungan tersebut disebabkan adanya perbedaan perspektif dari masing-masing sisi. Makroekonomi memandang perekonomian sebagai sebuah agregasi dari berbagai macam kegiatan ekonomi oleh para pelaku ekonomi. Sementara itu mikroekonomi memandang perekonomian sebagai sebuah kegiatan oleh entitas individu pelaku ekonomi. Apakah indikator-indikator makroekonomi cukup berarti bagi pelaku usaha mikro dan kecil? Besaran indikator makroekonomi terbentuk dari aktivitas ekonomi baik pelaku ekonomi mikro maupun besar. Besaran makroekonomi dengan demikian kadang bias bagi pelaku usaha mikro dan kecil karena tidak mencerminkan kinerja mereka sesungguhnya. Sebagai contoh, suku bunga bank. Bagi pelaku usaha mikro suku bunga tinggi sudah menjadi hal yang biasa. Mereka kadang tidak mempedulikan tingginya suku bunga kredit, karena mereka lebih memperhatikan aksesbilitas dan fleksibilitas pembayaran kredit. Namun, bagi pelaku usaha menengah dan besar, tingginya suku bunga menjadi masalah yang besar karena akan membuat investasi mereka menjadi lebih mahal.
Lebih jauh sebagai gambaran, meskipun usaha kecil mendominasi struktur pelaku ekonomi nasional, namun kontribusinya kalah dibandingkan dengan usaha besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah, jumlah unit usaha kecil di Indonesia pada tahun 2006 sejumlah 48.822.925 unit. Sementara itu jumlah unit usaha besar pada tahun yang sama sebanyak 7.204 unit. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, usaha kecil juga cukup besar, yaitu sebanyak 80.933.384 orang, sedangkan usaha besar sebanyak 3.388.462 orang. Namun jika dilihat sumbangannya terhadap PDB, usaha kecil masih kalah dibandingkan dengan usaha besar. Nilai PDB Harga Konstan usaha kecil pada tahun 2006 sebanyak 725.959,4 miliar rupiah, lebih rendah dibandingkan dengan usaha besar sebanyak 814.081 miliar rupiah.
Guna melengkapi perspektif makroekonomi, maka iklim berusaha dapat pula dipandang dari perspektif keuangan dan pelaku usaha. Berbagai survei pun telah dilakukan untuk membandingkan daya saing dan iklim investasi antar daerah di Indonesia. Bagaimana dengan posisi DIY dan Gunungkidul pada khususnya dari perspektif perbankan dan pelaku ekonomi?


PERSPEKTIF PERBANKAN
Bagi perbankan, dari sisi simpanan yang dapat dihimpun dan kredit yang dapat disalurkan, maka Gunungkidul relatif kurang menarik dibandingkan dengan kabupaten/kota di DIY lainnya. Posisi dana simpanan di Gunungkidul dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di DIY ternyata sangatlah rendah. Pada tahun 2006, dari total dana simpanan di perbankan DIY sebanyak 13.902.347 juta rupiah, hanya 3 (tiga) persen yang ada di Gunungkidul. Kondisi ini menunjukkan kecilnya investasi potensial yang dapat terbentuk di Gunungkidul. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan gambaran tersebut.
Tabel 1. Posisi Dana Simpanan Rupiah dan Valuta Asing Bank Umum Menurut Kota/Kabupaten di DIY (Persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 77% 74% 73% 70% 70% 67%
2 Sleman 14% 15% 16% 16% 16% 18%
3 Bantul 2% 5% 5% 8% 7% 9%
4 Kulonprogo 4% 3% 3% 3% 3% 3%
5 Gunungkidul 2% 2% 3% 3% 3% 3%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, data diolah.
Posisi kredit yang disalurkan juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Gunungkidul hanya sedikit lebih menarik bagi perbankan untuk menyalurkan kreditnya dibandingkan dengan Kulonprogo. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan posisi kredit menurut kabupaten/kota di DIY.
Tabel 2. Posisi Kredit Rupiah dan Valuta Asing
Menurut Kabupaten/Kota di DIY (persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 47% 46% 46% 41% 42% 40%
2 Sleman 29% 28% 28% 33% 33% 33%
3 Bantul 12% 14% 15% 16% 15% 15%
4 Kulonprogo 5% 5% 5% 5% 5% 5%
5 Gunungkidul 7% 6% 6% 6% 6% 6%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, data diolah.
Pada tahun 2006, total kredit yang disalurkan oleh perbankan di Gunungkidul sebesar 429.443 juta rupiah, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan di seluruh DIY sebesar 13.902.347 juta rupiah. Kredit yang disalurkan oleh perbankan di Gunungkidul sebagian besar mengalir ke usaha kecil. Hal ini dapat dilihat dari rasio kredit usaha kecil dibandingkan dengan total kredit. Tabel 3 secara tidak langsung menggambarkan pula bahwa struktur usaha di Gunungkidul didominasi oleh usaha kecil.
Tabel 3. Rasio Kredit Usaha Kecil dengan Tota Kredit
Menurut Kabupaten/Kota di DIY (dalam persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 79% 40% 26% 24% 27% 27%
2 Sleman 15% 31% 19% 10% 9% 9%
3 Bantul 28% 54% 39% 26% 24% 21%
4 Kulonprogo 50% 88% 68% 57% 47% 43%
5 Gunungkidul 79% 71% 50% 39% 35% 33%
Total 53% 44% 29% 22% 22% 22%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta 2007, data diolah.
Apabila Tabel 3 dicermati dengan sungguh-sungguh akan tampak bahwa, dari tahun ke tahun terjadi penurunan rasio KUK terhadap total kredit di Gunungkidul. Fenomena ini bahkan umum terjadi di DIY. Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha kecil tidak lagi dipandang menarik bagi perbankan untuk menyalurkan kreditnya, atau penyerapan usaha kecil terhadap kredit perbankan semakin rendah. Beberapa tahun terakhir ini merupakan tahun-tahun lesunya perkembangan usaha kecil di berbagai wilayah di Indonesia termasuk DIY dan Gunungkidul. Dari berbagai keluhan yang disampaikan oleh bagian kredit perbankan, diantaranya adalah sulitnya mencari nasabah usaha kecil yang bagus. Di sisi lain, pelaku usaha kecil mengeluhkan sulitnya mencari kredit usaha kecil di perbankan. Telah terjadi ketidaksimetrisan informasi antara pihak perbankan dan pelaku usaha kecil. Ketidaksimetrisan ini menyebabkan terjadinya disintermediasi perbankan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari perspektif perbankan ini adalah:
1) Gunungkidul masih belum menarik bagi investasi jasa keuangan dilihat dari rendahnya tingkat tabungan dan kredit yang dapat disalurkan.
2) Dampak dari nomor satu adalah masih rendahnya aksesibilitas pelaku usaha kecil terhadap kredit perbankan.



PERSPEKTIF PELAKU EKONOMI
Berbagai survei mengenai daya saing suatu daerah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan bisnis, yaitu: tenaga kerja dan produktivitas, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik, dan institusi. Survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2002menunjukkan bahwa institusi merupakan faktor utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh kondisi sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan produktivitas tenaga kerja. Dalam kondisi normal, kondisi ekonomi daerah merupakan faktor utama pertimbangan investasi.
Banyak studi memperlihatkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah memperburuk iklim investasi. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai peraturan daerah yang terlampau banyak merupakan penyebab tidak kondusifnya iklim bisnis. Banyaknya pungutan liar dan lamanya pengurusan dokumen menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang dikeluhkan oleh para pelaku ekonomi. Masalah-masalah itu pulalah yang menyebabkan daya saing suatu daerah menjadi rendah.
Berdasarkan hasil survei KPPOD tahun 2003, dari 156 Kabupaten di Indonesia, Kabupaten Gunungkidul berada pada peringkat 119. Peringkat daya tarik investasi di Gunungkidul ini lebih baik dibandingkan dengan di Bantul (141) namun jauh lebih rendah dibandingkan Kota Yogyakarta (25). Namun peringkat 119 dari 156 bukanlah sebuah peringkat yang baik. Apa yang menyebabkan daya saing kabupaten-kabupaten di DIY rendah?
Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dan Rahajeng (2005) menyimpulkan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/kegiatan berusaha di DIY. Faktor lainnya adalah infrastruktur fisik, sosial politik, ekonomi daerah dan tenaga kerja.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai hasi survei yang dilakukan terhadap pelaku ekonomi adalah faktor nonekonomi justru menjadi pertimbangan yang lebih besar dibandingkan faktor ekonomi. Mengapa hal ini terjadi? Faktor ekonomi dipandang lebih mudah dikendalikan dibandingkan dengan faktor nonekonomi. Sebagai contoh, pemerintah lebih mudah mengendalikan stabilitas nilai rupiah dan inflasi dibandingkan mengendalikan aparaturnya yang melakukan penyimpangan.

KESIMPULAN
Kondusif atau tidaknya iklim bisnis suatu daerah ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non ekonomi seperti kelembagaan, infrastruktur fisik, dan kondisi sosial politik dibandingkan dengan kondisi ekonomi dan produktivitas tenaga kerja. Kesimpulan ini didapat karena masih belum baiknya pelayanan publik dan rendahnya kepastian hukum. Rendahnya pelayanan publik dapat dilihat dari lamanya pengurusan dokumen dan masih adanya pungutan liar.
Pelaku ekonomi menjadikan variabel makroekonomi sebagai sebuah variabel yang lebih mudah dikendalikan. Informasi ini menjawab pertanyaan sebelumnya terkait dengan tidak sinkronnya kondisi makroekonomi dengan mikroekonomi. Kondisi makroekonomi stabil, namun mikroekonomi (sektor riil) belum bergerak dengan cepat.
Perbaikan iklim berusaha dapat dilakukan jika pemerintah daerah mau berbenah mulai dari pelayanan publik dengan memperbaiki dan memperkuat kapasitas kelembagaan di daerah. Aparatur daerah sebagai operator dan pengisi ruh kelembagaan daerah merupakan kunci keberhasilan perbaikan pelayan publik dan penguatan kapasitas kelembagaan ini. Pemerintah daerah dan pelaku bisnis harus dipandang sebagai mitra yang saling membutuhkan. Berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang menghambat investasi harus segera dihilangkan.

Pengembangan Kawasan Pesisir

PEMBANGUNAN KAWASAN PESISIR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
MELALUI OPTIMALISASI SUMBERDAYA LOKAL
Oleh: Ardito Bhinadi



Pendahuluan
Pembangunan kawasan pesisir Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta terombang-ambing laksana ombak laut Selatan. Pasang surut perhatian terhadap kawasan ini mengakibatkan pembangunan berjalan relatif lebih lambat dibandingkan konsep pembangunan perkotaan dan perdesaan. Padahal kawasan pesisir menyimpan potensi yang besar di samping permasalahan yang cukup banyak pula.
Belum optimalnya pengembangan kawasan pesisir tidak terlepas dari beberapa permasalahan berikutini. Pertama, pembangunan kawasan pesisir masih bersifat sektoral. Masing-masing sektor seolah berebut kepentingan dalam membangun kawasan pesisir. Tidak ada master plan yang disepakati bersama, sehingga masing-masing pemangku dapat mengoptimalkan perannya untuk mengimplementasikan master plan tersebut.
Kedua, pembangunan kawasan pesisir masih dilihat sebagai batas wilayah administratif. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah:
1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut.
2) Pengaturan kepentingan administratif,
3) Pengaturan tata ruang,
4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah,
5) Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Melihat ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota. Tafsir atas isi peraturan perundangan di atas masih beragam yang mengakibatkan terjadi rebutan pengelolaan kawasan pesisir dan konflik kepentingan antar Daerah. Pembangunan kawasan pesisir belum dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah adminisratif pemerintahan.
Ketiga, pembangunan kawasan pesisir belum menjadi milik bersama semua pemangku (stakeholders) wilayah. Konflik terhadap rencana pembangunan kawasan pesisir masih sering terjadi karena kurangnya komunikasi pemilik rencana pembangunan dengan masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Persepsi pembangunan masih menjadi domain pemerintah sedangkan mastyarakat hanyalah obyek pembangunan dan tidak memiliki domain yang sama untuk merencanakan pembangunan lingkungannya.
Adanya beberapa permasalahan di atas mengakibatkan pembangunan kawasan pesisir relatif tertinggal dibandingkan pembangunan kawasan perkotaan dan perdesaan non pesisir. Luasnya permasalahan tersebut harus diurai dan dipecahkan bersama agar pembangunan kawasan pesisir dapat berjalan dengan baik.

Konsep Pembangunan Kawasan Pesisir
Ada beberapa pendekatan pembangunan kawasan pesisir yang telah digagas dan dicoba untuk diimplementasikan. Salah satu konsep pembangunan kawasan pesisir yang dikembangkan adalah Integrated Coastal Zone Management. Konsep ini mengembangkan kawasan pesisir secara terpadu dengan memperhatian segala aspek terkait di pesisir yang meliputi antara lain aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Potensi-potensi ekonomi dan sosial yang dikembangkan dengan pemanfaatan teknologi yang ada harus mempertimbangkan faktor lingkungan. Pengembangan ekonomi masyarakat harus disertai pembangunan kekuatan sosial masyarakat supaya identitas dan karakter sosial masyarakat tidak hilang.
Pendekatan kedua adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management). Pendekatan ini menekankan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Di dalam pendekatan ini, masyarakat diberi kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
Pendekatan ketiga adalah model pengelolaan kawasan pesisir yang kolaboratif memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dan lain-lain) dengan pemerintah. Pendekatan ini dikenal dengan Co-management yang menghindari peran dominan berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi satu pihak dapat dieliminasi.
Pendekatan yang ingin dikembangkan di kawasan pesisir DIY adalah pembangunan kawasan pesisir berdasarkan potensi sumberdaya lokal (local based resources development). Pendekatan ini lebih mengutamakan untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang sudah ada dan tidak membawa sumberdaya luar untuk pengembangan kawasan. Konsep ini bukan berarti menolak masuknya investor dari luar. Investor bersifat komplemen dan bukan substitusi dalam pengembangan kawasan pesisir. Basis utama pengembangan haruslah potensi lokal. Investor yang diharapkan masuk ke kawasan pesisir adalah investor yang mampu menjadi katalisator pengembangan sumberdaya lokal. Investor yang mampu menyerap dan mendayagunakan sebesar-besarnya sumberdaya lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Konsep ini dikembangkan mengingat pengalaman pembangunan selama ini yang mencoba untuk meminggirkan potensi sumberdaya lokal dengan datangnya investor ke wilayah tersebut. Kedatangan investor sering tidak mengoptimalkan potensi lokal namun dengan alasan kurangnya bahan baku lokal dan rendahnya kualifikasi sumberdaya manusia lokal, mereka mengambil bahan baku dan sumberdaya manusia dari luar wilayah tersebut. Penduduk lokal akhirnya hanya menjadi penonton besarnya skala usaha perusahaan atau industri di wilayahnya. Keunggulan konsep ini antara lain:
1) Sumberdaya lokal dapat dioptimalkan penggunaannya untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat setempat dan sekitarnya.
2) Memiliki pondasi pembangunan kawasan pesisir yang lebih kokoh karena didukung oleh sumberdaya lokal yang ada.
3) Mengeliminasi potensi konflik karena kekuatan ekonomi dan sosial dibangun dari bawah.
4) Masyarakat lokal menjadi mesin utama pembangunan kawasan pesisir sehingga tidak akan terpinggirkan dengan kemajuan pembangunan kawasan pesisir.
Pendekatan local based resources development mensyaratkan adanya pengkajian secara mendalam potensi sumberdaya lokal beserta pengembangannya. Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh demi keberhasilan konsep ini dapat diuraikan berikut ini.


Tahap I: Studi Potensi dan Pengembangan Sumberdaya Lokal
Tujuan:
1) menganalisis potensi sumberdaya lokal yang dapat dikembangkan untuk kemajuan pembangunan kawasan pesisir,
2) menganalisis jaringan pasar untuk memasarkan produk-produk unggulan maupun non unggulan,
3) menganalisis kebutuhan sarana dan prasarana pengembangan ekonomi kawasan,
4) menganalisis kebutuhan pendanaan usaha ekonomi produktif kawasan.
Ruang Lingkup Kegiatan:
1) melakukan studi potensi sumberdaya lokal,
2) melakukan studi potensi pengembangan produk lokal,
3) melakukan studi jaringan pasar dan strategi pemasaran produk lokal,
4) melakukan studi pendanaan pengembangan usaha ekonomi produktif.

Tahap II: Penguatan Kelembagaan Usaha Produktif Masyarakat
Tujuan:
1) meningkatkan kemampuan kelompok usaha produktif masyarakat kawasan pesisir dalam pengembangan usaha mereka,
2) meningkatkan kemampuan manejerial dalam pengelolaan kelompok masyarakat,
3) membentuk dan memperkuat koperasi sebagai lembaga ekonomi formal masyarakat yang profesional, sehat dan berkembang,
4) memperkuat posisi, daya saing dan daya tawar kelompok masyarakat dalam menghadapi persaingan usaha dan pengelolaan kawasan pesisir,
5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan pesisir.
Ruang Lingkup Kegiatan:
1) penguatan kelembagaan dan kapasitas kelompok usaha ekonomi produktif masyarakat melalui pengenalan manajemen kelompok, metode tanggung renteng, kompetensi teknis dan pertanggungjawaban koletktif,
2) pendirian dan penguatan kelembagaan koperasi guna memenuhi dan memfasilitasi berbagai kebutuhan usaha anggota: dana bergulir, sarana dan prasarana produksi, akses pasar dan teknologi,
3) pendampingan kelompok usaha ekonomi produktif masayarakat.


Tahap III: Pengembangan Kawasan Pesisir Mandiri
Tujuan:
1) meningkatkan kemandirian ekonomi dan sosial masyarakat kawasan pesisir,
2) meningkatkan peran anggota keluarga khususnya ibu dan anak dalam peningkatan pendapatan keluarga.
Ruang lingkup program:
Meningkatkan ketrampilan masyarakat khsususnya ibu dan anak supaya memiliki kemandirian ekonomi yang kuat untuk menopang kebutuhan rumahtangga dengan berbagai pelatihan dan pendampingan.

Tahapan Perkembangan Usaha dan Jaringan Pendanaan

Paradigma Baru Pengembangan UMKM

PERUBAHAN SUDUT PANDANG PENYALURAN KREDIT KE UMKM
Oleh: Ardito Bhinadi*

Peranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai tiang penyangga perekonomian nasional pada saat krisis ekonomi sangat besar. Hal ini didukung oleh hasil riset Bank Indonesia (2001) yang menunjukkan bahwa sepanjang krisis ekonomi ternyata hanya 4 persen UMKM yang mengalami kebangkrutan, 31 persen mengurangi skala usahanya, dan sekitar 65 persen lainnya tidak mengalami perubahan berarti dalam kinerja usahanya. Kenyataan ini berlawanan dengan kondisi usaha besar yang mayoritas mengalami kemunduran usaha.
Namun demikian, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh UMKM yang membutuhkan suatu pendekatan secara integratif dalam pemecahannya. Salah satu kendala usaha yang banyak dikeluhkan pengusaha UMKM adalah tambahan dana untuk kebutuhan modal kerja dan investasi. Beberapa penyebab sulitnya UMKM memperoleh tambahan modal kerja maupun investasi dikarenakan:
1) UMKM masih belum memiliki laporan keuangan yang tersusun baik beserta kelengkapan administrasi pendukungnya (bukti-bukti transaksi keuangan),
2) Kebanyakan di antara UMKM masih belum bisa menyusun business plan yang baik sebagai salah satu syarat ketentuan pengajuan proposal pembiayaan kredit usaha,
3) Beberapa UMKM khususnya pemilik usaha mikro dan kecil, banyak yang tidak memiliki agunan sebagai salah satu syarat jaminan pengucuran kredit oleh lembaga keuangan.
Di sisi lain, lembaga keuangan mempunyai kendala juga di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Kendala penyaluran kredit lembaga keuangan terhadap UMKM terlihat dari masih rendahnya nilai Loan to Deposit Ratio (LDR). Ada banyak perdebatan mengenai penyebab rendahnya LDR baik secara nasional maupun di DIY. Perdebatan yang mengemuka di antaranya saling menimpakan penyebab tersebut pada pihak lain. Pihak UMKM menyatakan bahwa pihak perbankan memberikan persyaratan pengajuan kredit yang terlalu menyulitkan UMKM. Salah satu syarat pengajuan kredit yang paling dirasakan sulit dipenuhi oleh UMKM khususnya mikro dan kecil adalah agunan. Sementara di sisi lain, pihak perbankan menyatakan bahwa mereka telah membuka peluang seluas-luasnya bagi UMKM untuk mengajukan penambahan modal usaha. Pihak perbankan menyatakan juga bahwa rendahnya LDR disebabkan oleh rendahnya permintaan kredit dari pengusaha itu sendiri.
Perdebatan mengenai pihak mana yang sebenarnya mengakibatkan rendahnya realisasi penyaluran dana UMKM tidak terlalu penting untuk dikemukakan. Alangkah baiknya apabila masing-masing pihak justru saling bekerjasama. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan dalam mengoptimalkan penyaluran dana UMKM. Pihak UMKM berkepentingan untuk meningkatkan modal usahanya. Pihak perbankan berkepentingan untuk menyalurkan dana tersebut. Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya kerjasama antara berbagai pihak untuk berkomitmen mengembangkan UMKM melalui kompetensi yang dimilikinya masing-masing.
Sedikitnya ada tiga pihak (tiga pilar) yang diharapkan dapat bekerjasama dengan baik untuk bersama-sama mengembangan UMKM. Ketiga pilar tersebut adalah lembaga keuangan, lembaga pendamping bisnis dan pemerintah. Masing-masing pihak mempunyai peran utama masing-masing.
Gambar 1 Kerjasama Tripilar dalam Pengembangan UMKM









Lembaga keuangan sebagai salah satu pihak yang sebenarnya juga berkepentingan dalam kegiatan usahanya mempunyai peran membantu UMKM dari sisi penambahan modal usaha, baik modal kerja maupun investasi. Lembaga keuangan yang dimaksud di sini adalah bank dan non bank. Lembaga keuangan dapat memberikan pelatihan bagi UMKM dalam menyusun proposal pengembangan usaha yang feasible. Sosialisasi kepada UMKM harus terus dilakukan oleh lembaga keuangan terkait dengan prosedur pengajuan kredit beserta syarat-syaratnya.
Pilar kedua dalam pengembangan UMKM adalah lembaga pendamping bisnis (Business Development Services Provider). Lembaga pendamping bisnis ini berperan utama dalam membantu UMKM meningkatkan kesehatan dan kinerja usahanya. Peran lain dari lembaga pendamping bisnis adalah:
1) membantu UMKM menyusun administrasi keuangan yang tertata dengan baik,
2) membantu UMKM menyusun business plan,
3) mendampingi UMKM dalam mengajukan proposal pengembangan usaha kepada lembaga keuangan,
4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) UMKM.
Ada banyak pihak yang dapat dimasukkan dalam pilar kedua ini, antara lain: lembaga swadaya masyarakat (LSM), pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi.
Pilar ketiga adalah pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah pusat berperan menciptakan iklim perekonomian yang kondusif bagi perkembangan UMKM. Peran penting lainnya adalah menciptakan berbagai kebijakan melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. Pemerintah daerah dalam era otonomi daerah mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah juga dapat membantu pengembangan UMKM melalui berbagai kebijakan ekonomi yang menunjukkan keberpihakan kepada UMKM di daerahnya. Pemerintah pusat dan daerah dapat membantu UMKM melakukan promosi hasil usahanya dalam lingkup nasional maupun internasional.
Selain menjalin kerjasama yang kuat antar lembaga yang terkait dengan pengembangan UMKM, juga dituntut adanya perubahan paradigma setidaknya cara pandang dalam memahami permasalahan UMKM. UMKM memiliki karakteristik usaha yang bermacam-macam. Oleh karenanya diperlukan skema pembiayaan yang bermacam-macam pula sesuai dengan karakter usaha yang mereka tekuni. Sebagai contoh, karakter usaha kerajinan berbeda dengan trading, pertanian, peternakan, industri pengolahan dan jenis usaha lainnya. Masing-masing jenis usaha membutuhkan skema pembiayaan yang mestinya tidak seragam. Kalangan perbankan dituntut untuk lebih kreatif mengembangkan berbagai model pembiayaan yang dapat diakses dengan mudah oleh UMKM. Perbankan dituntut berpikir kreatif dengan keterbatasan aturan yang membelitnya untuk memproduksi berbagai skim pembiayaan yang kapabel bagi UMKM. Bukan sebaliknya, UMKM dituntut untuk memenuhi syarat-syarat bank teknis yang kadang sulit dijangkau oleh sebagian besar UMKM. Perbankan yang memiliki basis pendidikan lebih baik dibandingkan pelaku UMKM, semestinya melakukan penyesuaian terhadap berbagai aturan yang mereka buat. Selanjutnya, berbagai macam skim pembiayaan tersebut harus disosialisasikan kepada para UMKM melalui berbagai macam media. Melalui kegiatan ini diharapkan asymmetric information yang terjadi selama ini dapat dikurangi hingga batas minimal. Wajah perbankan kita diharapkan dapat berubah lebih ramah bagi UMKM.
Harus disadari bahwa tidak berhasilnya target pengucuran kredit ke UMKM selama ini lebih dikarenakan masih sulitnya UMKM memenuhi persyaratan bank teknis (UMKM dianggap belum bankable). Anggapan ini harus dirubah menjadi sebenarnya perbankanlah yang belum UMKMable. Perubahan sudut pandang ini mensyaratkan bahwa selain UMKMnya dituntut untuk berubah lebih tertib dan baik, perbankan juga harus melakukan perubahan. Tuntutan agar UMKM menjadi bankable seharusnya bukan sebagai jurang yang terjal bagi UMKM yang benar-benar memerlukan uluran tangan perbankan untuk meningkatkan kinerja usahanya. Sebaliknya, perbankan juga dituntut untuk berempati dan jeli dalam menangkap peluang bisnis yang dikelola oleh para UMKM.
Melalui kerjasama tripilar dan perubahan sudut padang di atas, diharapkan asymmetric information antara perbankan dengan UMKM selama ini akan semakin berkurang. Hubungan antara perbankan dengan UMKM menjadi lebih mesra sehingga akan menguntungkan keduanya pada khususnya dan perekonomian bangsa pada umumnya. Tanpa adanya kemauan untuk saling memahami dan mendekatkan diri, maka jarak antara perbankan dan UMKM akan tetap terus lebar. Akhirnya, hanya sedikit UMKM yang dapat mengakses pembiayaan usaha ke bank.

Peran Asosiasi KKMB

PERAN ASOSIASI KONSULTAN KEUANGAN MITRA BANK (KKMB)
DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN UMKM
Oleh: Ardito Bhinadi*


Pemerintah telah cukup lama menggulirkan kebijakan kredit usaha mikro dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Ada satu hal yang menarik untuk dicermati terkait dengan kebijakan pemerintah tersebut. Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan telah dikaitkan dengan pengembangan usaha mikro. Dasar pemikiran yang berkembang adalah adanya pengelompokan umur dalam kerangka penanggulangan kemiskinan. Kelompok umur 0-15 tahun, bentuk intervensi dari pemerintah adalah penyiapan sosial melalui pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. Umur 15-55 tahun dikelompokkan dalam kelompok miskin produktif. Artinya, kelompok miskin pada usia produktif. Kelompok inilah yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan. Bentuk intervensi dari pemerintah untuk menangulangi kelompok miskin usia produktif adalah pengembangan usaha mikro melalui kredit kepercayaan usaha mikro (KKUM) dan pendampingan usaha. Pelaku utama yang diharapkan berperan membantu terlaksananya strategi ini adalah perbankan, Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB)/Business Development Services (BDS) dan dunia usaha. Sedangkan kelompok umur di atas 55 tahun oleh pemerintah diberikan perlindungan sosial melalui jaminan sosial.
Pemerintah dalam rangka pemberdayaan usaha mikro hingga saat ini juga telah melakukan langkah-langkan strategis. Pertama, menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan. Kedua, menciptakan sistem penjaminan (financial guarantee system) untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif usaha mikro. Ketiga, menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan “status usaha” usaha mikro agar feasible dan bankable dalam jangka panjang. Keempat, penataan dan penguatan kelembagaan keuangan mikro untuk memperluas jangkauan pelayanan keuangan kepada usaha mikro secara cepat, tepat, mudah dan sistematis. Pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro, telah menyusun beberapa kebijakan kredit. Pertama, adanya nota kesepahaman (MoU) antara Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dengan Bank Indonesia mengenai penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM. Kerjasama ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha mikro dan kecil. Kedua, nota kesepahaman (MoU) antara Sekretaris KPK dengan Deputi Gubernur Bank Indonesia tentang pemberdayaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) untuk mempercepat penyeluran kredit UMKM. Ketiga, Program Kredit Kepercayaan Usaha Mikro (KKUM). Keempat, Program Kredit Usaha Mikro Kecil (KUMK) dana SUP-005.
Perlu dicermati bahwa peran KKMB dalam pemberdayaan UMKM cukup besar. Banyak usaha mikro dan kecil meskipun sudah dikelola selama bertahun-tahun namun belum memiliki administrasi pembukuan yang baik. Padahal salah satu syarat dalam pengajuan kredit ke bank adalah adanya laporan kinerja usaha dalam bentuk laporan keuangan. Ketika pemilik UMKM berencana untuk meningkatkan usahanya, mereka terbentur pada penambahan modal. Masih banyak UMKM khususnya usaha mikro dan kecil yang belum bankable. Akses untuk mendapatkan pinjaman kredit dari bank dengan demikian menjadi terhambat. Inilah yang menjadi salah satu tugas KKMB untuk mempersiapkan UMKM agar menjadi lebih feasible dan bankable.
Sebelum istilah KKMB muncul, sudah banyak institusi yang menjadi pendamping bagi UMKM. Mereka ini dikenal dengan istilah penyedia jasa pengembangan usaha (Business Development Services Provider – BDSP). Namun, masih sedikit BDSP yang mempunyai kinerja dengan baik, terutama mendampingi UMKM untuk mendapatkan kredit dari bank. Banyak BDSP yang mengandalkan kredit program dari pemerintah dan belum banyak yang membantu UMKM untuk memanfaatkan kredit komersial. Kondisi inilah yang melahirkan gagasan untuk melakukan pembinaan pada institusi yang melakukan pendampingan pada UMKM. Muncullah gagasan untuk melakukan pemberdayaan pada BDSP-BDSP yang telah lebih dahulu muncul.
Di Provinsi DIY peran tersebut dijalankan oleh Satuan Tugas Pemberdayaan Konsultan Keuangan Mitra Bank DIY (Satgasda KKMB DIY). Satgasda KKMB menyelenggarakan pelatihan bagi KKMB-KKMB di DIY yang hingga saat ini telah berlangsung sebanyak empat angkatan. Angkatan keempat baru saja diselenggarakan di Hotel Wisanti Jl Tamansiswa Yogyakarta tanggal 27 – 30 Juni 2004. Setiap angkatan terdiri dari 25 orang peserta, dengan demikian sudah ada 100 orang yang mengikuti pelatihan tersebut. Tujuan pelatihan tersebut diantaranya adalah untuk meningkatkan bekal keahlian KKMB dalam mendampingi UKM binaannya. Apabila KKMB keahliannya meningkat, diharapkan semakin banyak UMKM yang dapat dihubungkan dengan bank untuk memperoleh tambahan modal bagi usaha UMKM tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Satgasda KKMB DIY, hanya sedikit KKMB yang melaporkan perkembangan pendampingan yang mereka lakukan pada UMKM binaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan bagi KKMB yang diselenggarakan oleh Satgasda KKMB outcome nya masih kecil. Apa yang menyebabkan KKMB-KKMB yang selama ini telah mendapatkan pelatihan dari Satgasda KKMB DIY belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan? Mengevaluasi dari belum baiknya kinerja KKMB-KKMB yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, muncul sebuah wacana baru pada pelatihan bagi KKMB Angkatan IV. Para peserta pelatihan KKMB Angkatan IV sepakat bahwa diperlukan adanya aliansi strategis dari KKMB-KKMB yang ada di DIY untuk meningkatkan kinerja mereka. Usulan bentuk wadah yang disepakati kemudian adalah berbentuk asosiasi.
Mengapa Diperlukan Asosiasi KKMB?
Latar belakang pentingnya Asosiasi KKMB dibentuk didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, sampai saat ini masih sedikit KKMB yang kinerjanya baik. Kedua, setiap KKMB memiliki keterbatasan sumberdaya, namun di sisi lain, masing-masing KKMB memiliki keunggulan spesifik dibanding KKMB lainnya. Keterbatasan dan keunggulan inilah yang dapat disatukan melalui aliansi strategis di antara KKMB-KKMB yang ada di DIY. Ketiga, sangat banyak UMKM terdapat di DIY ini dengan permasalahan yang sangat beragam. Banyaknya permasalahan yang harus dibenahi ini tentunya tidak dapat diselesaikan hanya oleh satu KKMB saja yang sumberdayanya terbatas. Namun dengan kerjasama antar KKMB. Keempat, supaya menjadi KKMB yang profesional, ada banyak aspek dan kualifikasi yang harus dikuasai. Aspek tersebut menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang UMKM, perbankan dan lembaga keuangan lainnya, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Hanya KKMB yang besar dan mempunyai dukungan sumberdaya yang kuat mampu mengcover aspek-aspek tersebut. Kelima, selama ini ada ketidakseimbangan posisi KKMB ketika harus berhadapan dengan perbankan. Industri perbankan yang telah berkembang selama berpuluh-puluh tahun tentunya mempunyai keahlian yang lebih baik dibandingkan KKMB dalam melakukan penilaian kelayakan suatu kredit. Bahkan ada perbankan yang enggan untuk menggunakan jasa KKMB karena permasalahan kepercayaan bank pada KKMB itu sendiri. Apabila masing-masing KKMB bisa melakukan sinergi dengan membentuk aliansi strategis, maka posisi KKMB akan mempunyai daya tawar yang lebih kuat dengan perbankan. Keenam, jumlah perbankan di DIY cukup banyak, dan masing-masing bank memiliki preferensi tersendiri dalam menyalurkan kreditnya. Biayanya terlampau mahal bagi KKMB bila harus mencari semua informasi tentang semua bank di DIY. Hal ini bisa dijembatani melalui sebuah wadah bagi KKMB untuk bertukar informasi, pengetahuan dan transfer keahlian.
Berdasarkan keenam latar belakang di atas, maka kehadiran Asosiasi KKMB sangat diperlukan. Asosiasi KKMB merupakan solusi riil untuk memecahkan berbagai permasalahan di atas. Mengapa wadah yang dibentuk adalah asosiasi dan bukan lainnya? Asosiasi KKMB dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama, jika wadah KKMB sebatas forum komunikasi, maka ikatannya menjadi kurang kuat. Forum komunikai dikhawatirkan hanya terbatas pada tukar informasi dan sebagai wadah komunikasi antar KKMB. Para anggota forum komunikasi dikhawatirkan pula kurang memiliki komitmen yang kuat untuk saling bersinergi. Sulit diharapkan munculnya kesepakatan-kesepakatan yang mengikat bagi semua anggota. Kedua, wacana untuk membuat perusahaan yang berstatus hukum juga mengemuka sebagai wadah bersama KKMB. Wacana yang berkembang adalah membentuk CV atau PT. Pembentukan perusahaan formal ini akan melebur identitas masing-masing entitas KKMB. KKMB-KKMB yang selama ini telah eksis tentunya menolak jika eksistensi mereka menjadi hilang.
Asosiasi KKMB sebagai wadah sinergi atau aliansi strategis bagi KKMB-KKMB dengan demikian merupakan pilihan strategis untuk kondisi saat ini. Ada empat hal yang memperkuat diperlukannya keberadaan Asosiasi KKMB ini. Pertama, melalui wadah asosiasi diharapkan KKMB-KKMB yang bergabung di dalamnya mempunyai ikatan komitmen yang kuat. Komitmen yang kuat diperlukan di dalam sebuah organisasi agar organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Kedua, asosiasi tidak menghilangkan ciri khas dan keberadaan masing-masing KKMB. Bahkan melalui asosiasi KKMB, akan muncul sinergi untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing KKMB. Ketiga, melalui asosiasi akan mendorong masing-masing KKMB untuk meningkatkan kompetensi sektoralnya. Setiap KKMB akan mempunyai keunggulan spesifik yang mungkin tidak dimiliki oleh KKMB lainnya. Sebagai contoh, apabila KKMB X memiliki UMKM binaan yang memerlukan program akuntansi untuk usahanya, maka KKMB X dapat meminta bantuan KKMB Y yang memiliki keunggulan dalam bidang tersebut. Keempat, melalui asosiasi KKMB, daya tawar KKMB terhadap berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) akan semakin kuat. Akan berbeda ketika melakukan negosiasi dengan perbankan apabila satu KKMB berhadapan sendiri dibandingkan dengan asosiasi. Pihak perbankan pun akan lebih diuntungkan dengan keberadaan Asosiasi KKMB karena akan lebih jelas dengan siapa mereka akan bekerjasama. Keberadaan Asosiasi KKMB juga menguntungkan Satgasda Pemberdayaan KKMB karena lebih mudah memantau keberadaan dan aktivitas KKMB-KKMB yang ada di wilayahnya.
Pembentukan Asosiasi KKMB ini tentunya harus diikuti aturan main dan kode etik yang jelas. Persaingan tidak sehat antar KKMB dalam mendapatkan klien akan dapat diminimalkan melalui keberadaan Asosiasi KKMB. Asosiasi KKMB setidaknya mempunyai beberapa peran. Pertama, Asosiasi KKMB berperan menjadi katalisator bagi terwujudnya aliansi strategis dari KKMB-KKMB yang telah ada selama ini. Kedua, menjadi negosiator bagi KKMB-KKMB yang ada untuk melakukan pembahasan bersama dengan pihak perbankan menyangkut kerjasama yang lebih luas dan kuat. Kerjasama tersebut tujuan utamanya adalah membantu agar fungsi intermediasi perbankan dapat terlaksana dengan baik. Wujud nyatanya adalah banyak UMKM yang mendapat pinjaman kredit dari perbankan untuk mengembangkan usahanya. Bentuk nyata dari kerjasama tersebut menyangkut pula fee yang didapatkan oleh KKMB dalam membantu pihak bank menyalurkan kredit ke UMKM. Sedangkan KKMB berkewajiban membantu bank mendampingi UMKM binaannya agar memperoleh kredit dari bank, sekaligus melakukan monitoring penggunaan kredit ketika UMKM binaannya tersebut berhasil memperoleh kredit dari bank. Ketiga, Asosiasi KKMB bekerjasama dengan Satgasda KKMB dan perbankan melakukan road show ke UMKM-UMKM yang ada di DIY. Tujuan road show ini adalah untuk memperkenalkan kepada UMKM tentang keberadaan KKMB yang siap mendampingi UMKM memperbaiki kinerja usahanya dan membantu mendapatkan akses pinjaman ke bank. Keempat, Asosiasi KKMB berperan membantu tugas Satgasda KKMB dalam melakukan pemantauan dan pembinaan pada KKMB-KKMB yang telah ada. Asosiai KKMB dapat menyusun kode etik bagi KKMB yang menjadi anggotanya. Kode etik tersebut diperlukan supaya diantara KKMB tidak muncul praktek-praktek yang tidak baik. Praktek-praktek tersebut dapat berupa penekanan pada UMKM agar mau memberikan imbalan pada petugas bank dalam jumlah besar supaya kreditnya lancar, janji-janji pada UMKM bahwa kreditnya pasti akan diterima oleh bank jika UMKM tersebut mau membayar mahal pada KKMB. Termasuk yang perlu diatur dalam kode etik tersebut adalah tidak diperkenankannya seorang KKMB merebut UMKM yang telah menjadi binaan KKMB lainnya. Namun diperkenankan suatu UMKM dibina oleh lebih dari satu KKMB.
Melalui pembentukan Asosiasi KKMB ini, tripilar pembinaan UMKM di DIY dapat semakin kuat. Tripilar pembinaan UMKM terdiri dari pemerintah (Satgasda KKMB), pendamping UMKM (Asosiasi KKMB) dan lembaga keuangan. Pemerintah melalui Satgasda Pemberdayaan KKMB berperan meningkatkan kinerja KKMB dalam melakukan fungsi channelling UMKM pada pihak perbankan, menyusun kebijakan-kebijakan perkreditan yang berpihak pada UMKM dan menghimbau pada pihak perbankan untuk menyediakan kredit bagi UMKM (dimasukkan dalam Business Plan Bank). Sementara itu lembaga keuangan khususnya bank, berperan menjalankan fungsi intermediasi berupa penyaluran kredit ke UMKM dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian bank. Mengingat dapat dipahami pula bahwa uang yang disalurkan bank ke masyarakat pada dasarnya adalah uang yang berasal dari masyarakat pula dan harus dipertanggungjawabkan keamanannya. Sedangkan peran Asosiasi KKMB telah banyak diuraikan di depan. Peran utamanya tentunya adalah menjadi pendamping bagi UMKM binaannya untuk mendapatkan kredit dari bank.

Tri Pilar Pengembangan UMKM

KERJASAMA TRIPILAR DALAM PENGEMBANGAN UMKM
Oleh: Ardito Bhinadi*


Pendahuluan
Peranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai tiang penyangga perekonomian nasional pada saat krisis ekonomi sangat besar. Hal ini didukung oleh hasil riset Bank Indonesia (2001) yang menunjukkan bahwa sepanjang krisis ekonomi ternyata hanya 4 persen UMKM yang mengalami kebangkrutan, 31 persen mengurangi skala usahanya, dan sekitar 65 persen lainnya tidak mengalami perubahan berarti dalam kinerja usahanya. Kenyataan ini berlawanan dengan kondisi usaha besar yang mayoritas mengalami kemunduran usaha.
Namun demikian, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh UMKM yang membutuhkan suatu pendekatan secara integratif dalam pemecahannya. Salah satu kendala usaha yang banyak dikeluhkan pengusaha UMKM adalah tambahan dana untuk kebutuhan modal kerja dan investasi. Beberapa penyebab sulitnya UMKM memperoleh tambahan modal kerja maupun investasi dikarenakan:
1) UMKM masih belum memiliki laporan keuangan yang tersusun baik beserta kelengkapan administrasi pendukungnya (bukti-bukti transaksi keuangan),
2) Kebanyakan di antara UMKM masih belum bisa menyusun business plan yang baik sebagai salah satu syarat ketentuan pengajuan proposal pembiayaan kredit usaha,
3) Beberapa UMKM khususnya pemilik usaha mikro dan kecil, banyak yang tidak memiliki agunan sebagai salah satu syarat jaminan pengucuran kredit oleh lembaga keuangan.
Di sisi lain, lembaga keuangan mempunyai kendala juga di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Kendala penyaluran kredit lembaga keuangan terhadap UMKM terlihat dari nilai Loan Deposit Ratio (LDR). Data statistik ekonomi keuangan daerah yang diterbitkan Bank Indonesia pada bulan Desember 2003 memperlihatkan bahwa rerata LDR untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) pada bulan September sampai dengan Oktober adalah 27,5%. Sumbangan setiap kabupaten/kota terhadap LDR Propinsi DIY berurutan dari nilai yang tertinggi adalah Kabupaten Gunungkidul (42,4%), Kabupaten Bantul (40,2%), Kabupaten Kulonprogo (35,4%), Kabupaten Sleman ( 13%) dan Kota Yogyakarta (6,5%).
Ada banyak perdebatan mengenai penyebab rendahnya LDR baik secara nasional maupun di DIY. Perdebatan yang mengemuka di antaranya saling menimpakan penyebab tersebut pada pihak lain. Pihak UMKM menyatakan bahwa pihak perbankan memberikan persyaratan pengajuan kredit yang terlalu menyulitkan UMKM. Salah satu syarat pengajuan kredit yang paling dirasakan sulit dipenuhi oleh UMKM khususnya mikro dan kecil adalah agunan. Sementara di sisi lain, pihak perbankan menyatakan bahwa mereka telah membuka peluang seluas-luasnya bagi UMKM untuk mengajukan penambahan modal usaha. Pihak perbankan menyatakan juga bahwa rendahnya LDR disebabkan oleh rendahnya permintaan kredit dari pengusaha itu sendiri.
Perdebatan mengenai pihak mana yang sebenarnya mengakibatkan rendahnya realisasi penyaluran dana UMKM tidak terlalu penting untuk dikemukakan. Alangkah baiknya apabila masing-masing pihak justru saling bekerjasama. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan dalam mengoptimalkan penyaluran dana UMKM. Pihak UMKM berkepentingan untuk meningkatkan modal usahanya. Pihak perbankan berkepentingan untuk menyalurkan dana tersebut. Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya kerjasama antara berbagai pihak untuk berkomitmen mengembangkan UMKM melalui kompetensi yang dimilikinya amsing-masing.

Kerjasama Tripilar dalam Pengembangan UMKM
Diperlukan kerjasama beberapa pihak untuk mengembangkan UMKM di Indonesia. Sedikitnya ada tiga pihak (tiga pilar) yang diharapkan dapat bekerjasama dengan baik untuk bersama-sama mengembangan UMKM. Ketiga pilar tersebut adalah lembaga keuangan, lembaga pendamping bisnis dan pemerintah. Masing-masing pihak mempunyai peran utama masing-masing.
Gambar 1 Kerjasama Tripilar dalam Pengembangan UMKM













Lembaga keuangan sebagai salah satu pihak yang sebenarnya juga berkepentingan dalam kegiatan usahanya mempunyai peran membantu UMKM dari sisi penambahan modal usaha, baik modal kerja maupun investasi. Lembaga keuangan yang dimaksud di sini adalah bank dan non bank. Lembaga keuangan dapat memberikan pelatihan bagi UMKM dalam menyusun proposal pengembangan usaha yang feasible. Sosialisasi kepada UMKM harus terus dilakukan oleh lembaga keuangan terkait dengan prosedur pengajuan kredit beserta syarat-syaratnya.
Pilar kedua dalam pengembangan UMKM adalah lembaga pendamping bisnis (Business Development Services Provider). Lembaga pendamping bisnis ini berperan utama dalam membantu UMKM meningkatkan kesehatan dan kinerja usahanya. Peran lain dari lembaga pendamping bisnis adalah:
1) membantu UMKM menyusun administrasi keuangan yang tertata dengan baik,
2) membantu UMKM menyusun business plan,
3) mendampingi UMKM dalam mengajukan proposal pengembangan usaha kepada lembaga keuangan,
4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) UMKM.
Ada banyak pihak yang dapat dimasukkan dalam pilar kedua ini, antara lain: lembaga swadaya masyarakat (LSM), pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi.
Pilar ketiga adalah pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah pusat berperan menciptakan iklim perekonomian yang kondusif bagi perkembangan UMKM. Peran penting lainnya adalah menciptakan berbagai kebijakan melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. Pemerintah daerah dalam era otonomi daerah mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah juga dapat membantu pengembangan UMKM melalui berbagai kebijakan ekonomi yang menunjukkan keberpihakan kepada UMKM di daerahnya. Pemerintah pusat dan daerah dapat membantu UMKM melakukan promosi hasil usahanya dalam lingkup nasional maupun internasional.

Penutup
Melalui kerjasama tripilar di atas, diharapkan UMKM akan semakin meningkat kinerja usahanya. Keberhasilan pengembangan UMKM akan semakin memperkokoh sendi-sendi perekonomian bangsa. UMKM pada akhirnya akan menjadi pilar utama dalam perekonomian nasional dan daerah.