Rabu, 05 Desember 2007

Iklim Berusaha di DIY

IKLIM BERUSAHA DI PROPINSI DIY:
KONDUSIFKAH BAGI PENGUSAHA UMKMK
Ardito Bhinadi


PENDAHULUAN
Iklim usaha yang baik dipandang sebagai syarat yang diperlukan bagi tumbuh kembangnya kegiatan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) di suatu negara maupun daerah. Apa indikator iklim usaha yang baik? Baik atau tidaknya iklim usaha diukur melalui beberapa indikator. Salah satu indikator yang sering dijadikan acuan bagi pemerintah dan dunia usaha adalah kondisi ekonomi makro.
Indikator ekonomi makro bisa dilihat dari stabilitas harga, stabilitas nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan neraca pembayaran, dan kesempatan kerja. Saat ini indikator makroekonomi negara kita sangat baik. Inflasi per bulan Mei 2007 sebesar 6,01 persen relatif moderat. Kurs tengah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS per 20 Juni 2007 adalah Rp 8.902. Cadangan devisa yang dimiliki juga cukup aman, yaitu sebesar USD 50.211,80. Lantas dengan kondisi makroekonomi yang dianggap baik dan stabil tersebut apakah kemudian UMKMK dapat berkembang dengan baik?
Dari sisi makroekonomi kondisi perekonomian cukup baik, namun dari sisi mikroekonomi perkembangan sektor riil masih relatif lambat. Jika diperhatikan, ada sebuah ketidaksinambungan antara kondisi makroekonomi dengan mikroekonomi. Penyebab ketidaksinambungan tersebut disebabkan adanya perbedaan perspektif dari masing-masing sisi. Makroekonomi memandang perekonomian sebagai sebuah agregasi dari berbagai macam kegiatan ekonomi oleh para pelaku ekonomi. Sementara itu mikroekonomi memandang perekonomian sebagai sebuah kegiatan oleh entitas individu pelaku ekonomi. Apakah indikator-indikator makroekonomi cukup berarti bagi pelaku usaha mikro dan kecil? Besaran indikator makroekonomi terbentuk dari aktivitas ekonomi baik pelaku ekonomi mikro maupun besar. Besaran makroekonomi dengan demikian kadang bias bagi pelaku usaha mikro dan kecil karena tidak mencerminkan kinerja mereka sesungguhnya. Sebagai contoh, suku bunga bank. Bagi pelaku usaha mikro suku bunga tinggi sudah menjadi hal yang biasa. Mereka kadang tidak mempedulikan tingginya suku bunga kredit, karena mereka lebih memperhatikan aksesbilitas dan fleksibilitas pembayaran kredit. Namun, bagi pelaku usaha menengah dan besar, tingginya suku bunga menjadi masalah yang besar karena akan membuat investasi mereka menjadi lebih mahal.
Lebih jauh sebagai gambaran, meskipun usaha kecil mendominasi struktur pelaku ekonomi nasional, namun kontribusinya kalah dibandingkan dengan usaha besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah, jumlah unit usaha kecil di Indonesia pada tahun 2006 sejumlah 48.822.925 unit. Sementara itu jumlah unit usaha besar pada tahun yang sama sebanyak 7.204 unit. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, usaha kecil juga cukup besar, yaitu sebanyak 80.933.384 orang, sedangkan usaha besar sebanyak 3.388.462 orang. Namun jika dilihat sumbangannya terhadap PDB, usaha kecil masih kalah dibandingkan dengan usaha besar. Nilai PDB Harga Konstan usaha kecil pada tahun 2006 sebanyak 725.959,4 miliar rupiah, lebih rendah dibandingkan dengan usaha besar sebanyak 814.081 miliar rupiah.
Guna melengkapi perspektif makroekonomi, maka iklim berusaha dapat pula dipandang dari perspektif keuangan dan pelaku usaha. Berbagai survei pun telah dilakukan untuk membandingkan daya saing dan iklim investasi antar daerah di Indonesia. Bagaimana dengan posisi DIY dan Gunungkidul pada khususnya dari perspektif perbankan dan pelaku ekonomi?


PERSPEKTIF PERBANKAN
Bagi perbankan, dari sisi simpanan yang dapat dihimpun dan kredit yang dapat disalurkan, maka Gunungkidul relatif kurang menarik dibandingkan dengan kabupaten/kota di DIY lainnya. Posisi dana simpanan di Gunungkidul dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di DIY ternyata sangatlah rendah. Pada tahun 2006, dari total dana simpanan di perbankan DIY sebanyak 13.902.347 juta rupiah, hanya 3 (tiga) persen yang ada di Gunungkidul. Kondisi ini menunjukkan kecilnya investasi potensial yang dapat terbentuk di Gunungkidul. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan gambaran tersebut.
Tabel 1. Posisi Dana Simpanan Rupiah dan Valuta Asing Bank Umum Menurut Kota/Kabupaten di DIY (Persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 77% 74% 73% 70% 70% 67%
2 Sleman 14% 15% 16% 16% 16% 18%
3 Bantul 2% 5% 5% 8% 7% 9%
4 Kulonprogo 4% 3% 3% 3% 3% 3%
5 Gunungkidul 2% 2% 3% 3% 3% 3%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, data diolah.
Posisi kredit yang disalurkan juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Gunungkidul hanya sedikit lebih menarik bagi perbankan untuk menyalurkan kreditnya dibandingkan dengan Kulonprogo. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan posisi kredit menurut kabupaten/kota di DIY.
Tabel 2. Posisi Kredit Rupiah dan Valuta Asing
Menurut Kabupaten/Kota di DIY (persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 47% 46% 46% 41% 42% 40%
2 Sleman 29% 28% 28% 33% 33% 33%
3 Bantul 12% 14% 15% 16% 15% 15%
4 Kulonprogo 5% 5% 5% 5% 5% 5%
5 Gunungkidul 7% 6% 6% 6% 6% 6%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, data diolah.
Pada tahun 2006, total kredit yang disalurkan oleh perbankan di Gunungkidul sebesar 429.443 juta rupiah, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan di seluruh DIY sebesar 13.902.347 juta rupiah. Kredit yang disalurkan oleh perbankan di Gunungkidul sebagian besar mengalir ke usaha kecil. Hal ini dapat dilihat dari rasio kredit usaha kecil dibandingkan dengan total kredit. Tabel 3 secara tidak langsung menggambarkan pula bahwa struktur usaha di Gunungkidul didominasi oleh usaha kecil.
Tabel 3. Rasio Kredit Usaha Kecil dengan Tota Kredit
Menurut Kabupaten/Kota di DIY (dalam persen)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Yogyakarta 79% 40% 26% 24% 27% 27%
2 Sleman 15% 31% 19% 10% 9% 9%
3 Bantul 28% 54% 39% 26% 24% 21%
4 Kulonprogo 50% 88% 68% 57% 47% 43%
5 Gunungkidul 79% 71% 50% 39% 35% 33%
Total 53% 44% 29% 22% 22% 22%
Sumber: Kantor Bank Indonesia Yogyakarta 2007, data diolah.
Apabila Tabel 3 dicermati dengan sungguh-sungguh akan tampak bahwa, dari tahun ke tahun terjadi penurunan rasio KUK terhadap total kredit di Gunungkidul. Fenomena ini bahkan umum terjadi di DIY. Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha kecil tidak lagi dipandang menarik bagi perbankan untuk menyalurkan kreditnya, atau penyerapan usaha kecil terhadap kredit perbankan semakin rendah. Beberapa tahun terakhir ini merupakan tahun-tahun lesunya perkembangan usaha kecil di berbagai wilayah di Indonesia termasuk DIY dan Gunungkidul. Dari berbagai keluhan yang disampaikan oleh bagian kredit perbankan, diantaranya adalah sulitnya mencari nasabah usaha kecil yang bagus. Di sisi lain, pelaku usaha kecil mengeluhkan sulitnya mencari kredit usaha kecil di perbankan. Telah terjadi ketidaksimetrisan informasi antara pihak perbankan dan pelaku usaha kecil. Ketidaksimetrisan ini menyebabkan terjadinya disintermediasi perbankan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari perspektif perbankan ini adalah:
1) Gunungkidul masih belum menarik bagi investasi jasa keuangan dilihat dari rendahnya tingkat tabungan dan kredit yang dapat disalurkan.
2) Dampak dari nomor satu adalah masih rendahnya aksesibilitas pelaku usaha kecil terhadap kredit perbankan.



PERSPEKTIF PELAKU EKONOMI
Berbagai survei mengenai daya saing suatu daerah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan bisnis, yaitu: tenaga kerja dan produktivitas, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik, dan institusi. Survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2002menunjukkan bahwa institusi merupakan faktor utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh kondisi sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan produktivitas tenaga kerja. Dalam kondisi normal, kondisi ekonomi daerah merupakan faktor utama pertimbangan investasi.
Banyak studi memperlihatkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah memperburuk iklim investasi. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai peraturan daerah yang terlampau banyak merupakan penyebab tidak kondusifnya iklim bisnis. Banyaknya pungutan liar dan lamanya pengurusan dokumen menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang dikeluhkan oleh para pelaku ekonomi. Masalah-masalah itu pulalah yang menyebabkan daya saing suatu daerah menjadi rendah.
Berdasarkan hasil survei KPPOD tahun 2003, dari 156 Kabupaten di Indonesia, Kabupaten Gunungkidul berada pada peringkat 119. Peringkat daya tarik investasi di Gunungkidul ini lebih baik dibandingkan dengan di Bantul (141) namun jauh lebih rendah dibandingkan Kota Yogyakarta (25). Namun peringkat 119 dari 156 bukanlah sebuah peringkat yang baik. Apa yang menyebabkan daya saing kabupaten-kabupaten di DIY rendah?
Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dan Rahajeng (2005) menyimpulkan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/kegiatan berusaha di DIY. Faktor lainnya adalah infrastruktur fisik, sosial politik, ekonomi daerah dan tenaga kerja.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai hasi survei yang dilakukan terhadap pelaku ekonomi adalah faktor nonekonomi justru menjadi pertimbangan yang lebih besar dibandingkan faktor ekonomi. Mengapa hal ini terjadi? Faktor ekonomi dipandang lebih mudah dikendalikan dibandingkan dengan faktor nonekonomi. Sebagai contoh, pemerintah lebih mudah mengendalikan stabilitas nilai rupiah dan inflasi dibandingkan mengendalikan aparaturnya yang melakukan penyimpangan.

KESIMPULAN
Kondusif atau tidaknya iklim bisnis suatu daerah ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non ekonomi seperti kelembagaan, infrastruktur fisik, dan kondisi sosial politik dibandingkan dengan kondisi ekonomi dan produktivitas tenaga kerja. Kesimpulan ini didapat karena masih belum baiknya pelayanan publik dan rendahnya kepastian hukum. Rendahnya pelayanan publik dapat dilihat dari lamanya pengurusan dokumen dan masih adanya pungutan liar.
Pelaku ekonomi menjadikan variabel makroekonomi sebagai sebuah variabel yang lebih mudah dikendalikan. Informasi ini menjawab pertanyaan sebelumnya terkait dengan tidak sinkronnya kondisi makroekonomi dengan mikroekonomi. Kondisi makroekonomi stabil, namun mikroekonomi (sektor riil) belum bergerak dengan cepat.
Perbaikan iklim berusaha dapat dilakukan jika pemerintah daerah mau berbenah mulai dari pelayanan publik dengan memperbaiki dan memperkuat kapasitas kelembagaan di daerah. Aparatur daerah sebagai operator dan pengisi ruh kelembagaan daerah merupakan kunci keberhasilan perbaikan pelayan publik dan penguatan kapasitas kelembagaan ini. Pemerintah daerah dan pelaku bisnis harus dipandang sebagai mitra yang saling membutuhkan. Berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang menghambat investasi harus segera dihilangkan.

Tidak ada komentar: